POLIDAKTILI
disusun oleh: LUh Putu Yuniartini, S.Kep
4 NOv 2012
A. PENGERTIAN
Polidaktili atau
polidaktilisme (berasal dari bahasa Yunani kuno πολύς (polus) yang artinya banyak dan
δάκτυλος (daktulos) yang artinya jari, dikenal sebagai hiperdaktilisme, yaitu
anomali kongenital pada manusia dengan jumlah jari tangan atau kaki berlebihan.
Kelainan ekstremitas kongenital bervariasi dari kelainan yang hampir tak
terlihat hingga tidak adanya ekstremitas. (http://en.wikipedia.org/wiki/Polydactyly)
Suatu kelainan yang diwariskan gen
autosomal dominan P, sehingga penderita akan mendapatkan tambahan jari pada
satu atau dua tangannya dan atau pada kakinya. Orang normalnya adalah yang
memiliki homozigotik resesif pp. Polidaktili juga dikenal sebagai Hyperdaktili,
bisa terjadi ditangan atau dikaki manusia ataupun hewan. Tempat jari tambahan
tersebut berbeda-beda ada yang di dekat ibu jari dan ada pula yang berada di
dekat jari kelingking. (http://dokteryudabedah.com/tentang-polidaktili/)
Orang
normal adalah homozigotik resesip pp. pada individu heterozigotik Pp derajat
ekspresi gen dominan itu dapat berbeda-beda, sehingga lokasi tambahan jari
dapat bervariasi. Bila seorang laki-laki polidaktili heterizigotik menikah
dengan orang perempuan normal, maka dalam keturunan kemungkinan timbulnya polidaktili
ialah 50%
p ♀ pp x ♂ Pp
normal polidaktili
F1 Pp
= polidaktili (50%)
Pp
= normal (50%)
B.
KLASIFIKASI
Ada
3 derajat polidaktili, yaitu:
1.
Tipe
1: jari tambahan melekat pada kulit dan nervus.
2.
Tipe
2: jari tambahan dengan bagian normalnya melekat pada tulang atau sendi.
3. Tipe 3: jari tambahan dengan bagian normalnya berhubungan dengan os metakarpal tambahan pada tangan.
(http://www.cornellsurgery.org/patients/health/congenital-hand-defor-mities.html)
Duplikasi dapat bervariasi dari jari dengan persendian
yang terbentuk baik hingga jari yang mengalami rudimenter. Kelainan pada
metatarsal yang berhubungan biasa didapatkan nervus Klasifikasi morfologi
dideskripsikan oleh Venn-Watson, sebagaimana gambar di bawah ini:
Gambar
. Klasifikasi Venn-Watson berdasarkan konfigurasi anatomi metatarsal dan bagian
tulang yang mengalami duplikasi.
C.
ETIOLOGI
Adapun etiologinya yaitu sebagai berikut:
·
Asphyxiating
thoracic dystrophy
·
Carpenter syndrome
·
Familial polydactyly
·
Laurence-Moon-Biedl syndrome
·
Smith-Lemli-Opitz syndrome
·
Trisomi 21
Sebagaimana telah
disebutkan di atas, polidaktili dapat bermanifestasi tunggal atau sebagai
bagian dari suatu sindrom anomali kongenital. Bila diagnosis berdiri sendiri
maka berhubungan dengan mutasi dominan autosom pada gen tunggal, namun variasi
pada berbagai gen juga mungkin terjadi. Secara khusus gen mutasi yang terlibat
dalam pola perkembangan, akan menyebabkan anomali kongenital dengan polidaktili
sebagai salah satu sindromnya.
Ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi terjadinya polidaktili antara lain :
1.
Kelainan
Genetik dan Kromosom
Kelainan genetik pada ayah atau ibu
kemungkinan besar akan berpengaruh atas polidaktili pada anaknya. Di antara
kelainan-kelainan ini ada yang mengikuti hukum Mendel biasa, tetapi dapat pula
diwarisi oleh bayi yang bersangkutan sebagai unsur dominan ("dominant
traits") atau kadang-kadang sebagai unsur resesif. Penyelidikan daIam hal
ini sering sukar, tetapi adanya kelainan kongenital yang sama dalam satu
keturunan dapat membantu langkah-langkah selanjutya.
2.
Faktor
Teratogenik
Teratogenik
(teratogenesis) adalah istilah
medis yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti membuat monster. Dalam
istilah medis, teratogenik berarti terjadinya perkembangan tidak normal dari
sel selama
kehamilan yang menyebabkan kerusakan pada embrio sehingga pembentukan
organ-organ berlangsung tidak sempurna (terjadi cacat lahir). Di dalam
Keputusan Menteri Pertanian nomor 434.1 (2001), teratogenik adalah sifat bahan
kimia yang dapat menghasilkan kecacatan tubuh pada kelahiran.
Teratogenik
adalah perubahan formasi dari sel, jaringan, dan organ yang dihasilkan dari
perubahan fisiologi dan biokimia. Senyawa teratogen akan berefek teratogenik
pada suatu organisme, bila diberikan pada saat organogenesis. Apabila teratogen
diberikan setelah terbentuknya sel jaringan, sistem fisiologis dan sistem
biokimia, maka efek teratogenik tidak akan terjadi. Teratogenesis merupakan
pembentukan cacat bawaan. Malformasi (kelainan bentuk) janin disebut terata,
sedangkan zat kimia yang menimbulkan terata disebut zat teratogen atau teratogenik.
(http://faudinocent.blogspot.com/2011/10/teratogenik.htmlnn)
Perubahan yang disebabkan teratogen meliputi perubahan
dalam pembentukan sel, jaringan dan organ sehingga menyebabkan perubahan
fisiologi dan biokimia yang terjadi pada fase organogenesis. Umumnya bahan teratogenik dibagi menjadi 3 kelas berdasarkan
golongan nya yakni bahan teratogenik fisik, kimia dan biologis.
a.
Faktor
teratogenik fisik
Bahan tertogenik fisik adalah bahan yang bersifat teratogen
dari unsur-unsur fisik misalnya Radiasi nuklir, sinar gamma dan sinar X (sinar
rontgen). Bila ibu terkena radiasi nuklir (misal pada tragedi chernobil) atau
terpajan dengan agen fisik tersebut, maka janin akan lahir dengan berbagai
kecacatan fisik. Tidak ada tipe kecacatan fisik tertentu pada paparan ibu hamil
dengan radiasi, karena agen teratogenik ini sifatnya tidak spesifik karena
mengganggu berbagai macam organ. Dalam menghindari terpaaan agen teratogen
fisik, maka ibu sebaiknya menghindari melakukan foto rontgen apabila ibu sedang
hamil. Foto rontgen yang terlalu sering dan berulang pada kehamilan kurang dari
12 minggu dapat memberikan gangguan berupa kecacatan lahir pada janin. (http://faudinocent.blogspot.com/2011/10/teratogenik.htmlnn)
b.
Faktor
teratogenik kimia
Bahan teratogenik kimia adalah bahan yang berupa senyawa
senyawa kimia yang bila masuk dalam tubuh ibu pada saat saat kritis pembentukan
organ tubuh janin dapat menyebabkan gangguan pada proses tersebut. Kebanyakan
bahan teratogenik adalah bahan kimia. Bahkan obat-obatan yang digunakan untuk
mengobati beberapa penyakit tertentu juga memiliki efek teratogenik.
Alkohol merupakan bahan kimia teratogenik yang umum terjadi
terutama di negara-negara yang konsumi alkohol tinggi. Konsumsi alkohol pada
ibu hamil selama kehamilannya terutama di trisemester pertama, dapat
menimbulkan kecacatan fisik pada anak dan terjadinya kelainan yang dikenal
dengan fetal alkoholic syndrome . Konsumsi alkohol ibu dapat turut masuk
kedalam plasenta dan memperngaruhi janin sehingga pertumbuhan otak terganggu
dan terjadi penurunan kecerdasan/retardasi mental. Alkohol juga dapat
menimbulkan bayi mengalami berbagai kelainan bentuk muka, tubuh dan anggota
gerak bayi begitu ia dilahirkan. Obat-obatan untuk kemoterapi kanker umumnya
juga bersifat teratogenik. Beberapa polutan lingkungan seperti gas CO, senyawa
karbon dan berbagai senyawa polimer dalam lingkungan juga dapat menimbulkan
efek teratogenik.
c.
Faktor
teratogenik biologis
Agen teratogenik biologis adalah agen yang paling umum
dikenal oleh ibu hamil. Istilah TORCH atau toksoplasma, rubella, cytomegalo
virus dan herpes merupakan agen teratogenik biologis yang umum dihadapi oleh
ibu hamil dalam masyarakat. Infeksi TORCH dapat menimbulkan berbagai kecacatan
lahir dan bahkan abortus sampai kematian janin. Selain itu, beberapa infeksi
virus dan bakteri lain seperti penyakit sifilis/raja singa juga dapat
memberikan efek teratogenik.(http://faudinocent.blogspot.com/2011/10/teratogenik.htmlnn)
D.
PATOFISIOLOGI
Polidaktili, disebabkan kelainan kromosom pada waktu
pembentukan organ tubuh janin. Ini terjadi pada waktu ibu hamil muda atau
semester pertama pembentukan organ tubuh. Kemungkinan ibunya banyak mengonsumsi
makanan mengandung bahan pengawet. Atau ada unsur steratogenik yang menyebabkan
gangguan pertumbuhan. Kelebihan jumlah jari bukan masalah selain kelainan
bentuk tubuh. Namun demikian, sebaiknya diperiksa kondisi jantung dan paru
bayi, karena mungkin terjadi multiple anomali.
Orang normalnya adalah yang memiliki homozigotik resesif pp.
Pada individu heterozigotik Pp derajat ekspresi gen dominan itu dapat
berbeda-beda sehingga lokasi tambahan jari dapat bervariasi. Bila seorang
laki-laki polidaktili heterozigotik menikah dengan perempuan normal, maka dalam
keturunan kemungkinan timbulnya polidaktili adalah 50% (teori mendel). Ayah
polidaktili (heterozigot) Pp x, ibu normal homozigot (pp) maka anaknya
polidaktili (heterozigot Pp) 50%, normal (homozigot pp) 50%.
F.
MANIFESTASI
KLINIS
1.
Ditemukan sejak lahir.
2.
Dapat terjadi pada salah satu atau kedua jari tangan
atau kaki.
3.
Jari tambahan bisa melekat pada kulit ataupun saraf,
bahkan dapat melekat sampai ke tulang.
4.
Jari tambahan bisa terdapat di jempol (paling sering)
dan keempat jari lainnya.
5.
Dapat terjadi bersamaan dengan kelainan bawaan
lainnya, walaupun jarang.
(http://engzkatroxz.blogspot.com/2010/12/polidaktili.html)
(http://engzkatroxz.blogspot.com/2010/12/polidaktili.html)
G.
DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakn dengan beberapa cara sebagai
berikut :
1. Anamnesis:
ü
Apakah
ada anggota keluarga yang dilahirkan dengan jari tambahan?
ü
Apakah
ada riwayat keluarga dengan kelainan yang berhubungan dengan polidaktili
ü Apakah
ada gejala lain?
2. Pemeriksaan Fisis
Terlihat
adanya jari tambahan (inspeksi)
3. Pemeriksaan Penunjang
ü
Analisa
kromosom
ü Foto polos
H.
PENATALAKSANAAN
Pembedahan diindikasikan untuk memperbaiki kosmetik dan
bila ada keluhan kecocokan untuk memakai sepatu (bila polidaktili terdapat pada
kaki). Biasanya operasi dilakukan saat usia pasien lebih dari 1 tahun agar
pengaruh pada perkembangan dan gaya jalan minimal. Operasi sebaiknya ditunda
hingga perkembangan tulang (ossifikasi) selesai sehingga memungkinkan penilaian
anatomi yang akurat. (http://emedicine.medscape.com/article/
1260255-overview)
1.
Polidaktili
pada tangan
Klasifikasi Waffel digunakan untuk menyederhanakan
pengkategorian secara klinis dan perencanaan prosedur pembedahan. (http://jos.online.org-pdfov14i3p295.pdf)
Pedoman
dalam mengoperasi polidaktili pada jari tangan:
a.
Jari
radial hipoplastik yang direseksi.
b.
Pada
polidaktili tipe II dan III dengan kaliber yang simetris dan memiliki komponen
tulang, dipillih prosedur Bilhaut Cloquet yang memungkinkan stabilitas sendi
karena mempertahankan ligamentum kolateral ulnar dan radial sendi interphalanx.
Komplikasi prosedur antara lain kekakuan sendi, hipertrofi jaringan parut,
deformitas punggung kuku. Perbaikan nail
bed yang cermat dan rekonstruksi ukuran kuku yang serupa untuk mencegah
masalah kecacatan ini. Penting pula untuk memperingatkan pasien akan jari yang
tersisa pasti akan mengalami hipoplasia, yaitu dalam hal lebar dan
lingkarannya.
c.
Untuk
polidaktili tipe II, instabilitas sendi sering terjadi karena kelainan
berkembang pada level sendi. Ligamentum kolateral, perlekatan kapsul, dan
tendon ekstrinsik dari jari hipoplastik merupakan struktur esensial untuk
menjaga stabilitas sendi. Instabilitas yang mucul belakangan akibat gangguan
pada jaringan lunak yang mengakibatkan peregangan kronik dan rekonstruksi
jaringan lunak yang tidak seimbang. Oleh karena itu, lebih baik dilakukan over-tensioning pada rekonstruksi
jaringan lunak. Namun penilaian
instabilitas sendi (>5% angulasi pada IPJ) sering pula tidak tepat.
d.
Pada
polidaktili tipe III, anomali tidak mencapai IPJ sehingga diharapkan hasil yang
memuaskan setelah dilakukan eksisi sederhana. Meskipun demikian, dilaporkan
pula adanya komplikasi setelah ligasi sederhana pada bifid thumb yaitu
deformitas Z ibu jari (Z thumb deformity),
instabilitas sendi, dan deformitas sendi. Namun instabilitas sendi ini dapat
pula berasal dari instabilitas preoperatif. Tarikan eksentrik pada oto-otot
ekstensor pada IPJ mungkin berperan dalam perubahan sekunder dalam kapsul sendi
dan ligamentum kolateral. Over-tightening
ligament kolateral dan re-alignment tendon ekstrinsik yang
tepat dapat memperbaiki instabilitas sendi. Prosedur Bilhaut-Cloquet tidak
dapat memperbaiki instabilitas sendi pada polidaktiili tipe III akibat eksisi
sederhana, namun bisa pada tipe II.
Gambar Distal
phalanx dengan prosedur Bilhaut-Cloquet
e. Ligamentum kolateral radial dengan perlekatannya pada
flap periosteal dipertahankan dan over-tightened
untuk menjaga stabilitas sendi dan mencegah deformitas.
f. Jari tipe II dan IV biasanya berhubungan dengan phalanx
proksimal dan kepala metakarpal yang sangat besar.
g. Osteotomi korektif lebih dipilih untuk deformitas angular
residual tulang. (http://jos.online.org-pdfov14i3p295.pdf)
h. Realignment dengan atau tanpa augmentasi tendon penting
untuk mengembalikan kelurusan aksial dan mencegah deformitas Z karena tarikan
tendon yang eksentris. Pada tipe IV, prosedur yang biasa dilakukan adalah
suturing duplicated extensor jari
radial ke ekstensor longus jari ulnar dan melekatkan kembali m. abductor
pollicis brevis dan m. extensor pollicis brevis ke basis phalanx proksimal.
Delapan dari sebelas penderita polidaktili tipe IV mengalami instabilitas
sendi, dan tiga mengalami deformitas sendi. Komplikasi ini lebih nyata pada
MCPJ yang besar dan pada proksimal deformitas. Empat pasien dengan kaput
metacarpal I yang bifaset dan membesar yang melalui rekonstruksi mengalami
kekakuan sendi. Hal ini disebabkan oleh ukuran dan kontur permukaan artikulasi kaput
metacarpal, yang dapat diatasi dengan kondroplasti yang teliti dengan scalpel
tajam untuk membuat permukaan artikulasi yang sesuai dengan basis phalanx
proksimal. Suatu on-top plasty
(transposisi bagian distal sebuah jari terhadap bagian proksimal dari jari
lain) pada kasus ini menghasilkan keluaran yang bagus dan ibu jari dengan alignment normal. Pada polidaktili tipe
IV, jari ulnar dengan kaliber yang sama dan unit tendon fungsional yang intak
dipindahkan ke basis komponen radial, tepatnya phalanx proksimal komponen
ulnar. Permukaan artikular ulnar dengan kaput metacarpal dirapikan untuk
membentuk basis yang stabil, dan disesuaikan ukurannya degan phalanx proksimal
komponen radial. Prosedur ini menjaga integritas pembungkus jaringan lunak yang
penting pada sisi radial, khususnya ligamentum kolateral, kapsul dan otot
abduktor pollicis. K-wire intraosseus
dipasang sementara untuk mentransfikskan osteotomi. Perlu diperhatikan re-alignment pada tendon dengan aksis
baru pada jari yang direkonstruksi. Prosedur ini menghasilkan penyatuan tulang
yang lebih baik dan mencegah komplikasi lambat. (http://emedicine.medscape.com/article/
1260255-overview)
i.
Tujuan
terapi polidaktili adalah untuk mempertahankan jari yang paling fungsional,
tanpa mengingat apakah berupa bi- atau tri-phalangeal (http://jos.online.org-pdfov14i3p295.pdf)
2.
Polidaktili pada kaki
Penanganan termasuk eksisi jari tambahan dan rekonstruksi
jaringan lunak di sekitar jari yang tersisa untuk memperbaiki kesejajaran bila
terdapat deviasi. Jari paling medial pada polidaktili preaksial dan jari paling
lateral pada polidaktili postaksial adalah jari yang dipilih untuk direseksi
agar kaki bisa menyempit dengan tepi lateral atau medial yang lurus. Pada
polidaktili postaksial, dilakukan insisi oval atau racquet-shaped pada jari paling lateral melalui kulit dan fasia.
Tendon dibelah ke distal sejauh mungkin. Kapsul sendi metatarsophalangeal (MTP)
dibelah dan jari dipisahkan dari artikulasinya. Ketelitian diperlukan untuk
menyeimbangkan dengan tepat antara musculus hallucis abductor dan adductor
serta meminimalkan hallux varus. Koreksi terhadap longitudinal bracket epiphysis mencegah berkembangnya hallux varus
dan metatarsal I yang kependekan. Kapsul diperbaiki seakurat mungkin. Bila jari
yang lebih lateral yang hipoplastik dan dieksisi, ligamentum intermetatarsal
harus ditaksir ulang. Penempatan Kirschner
wire (K-wire) selama 4-6 minggu
dapat membantu mempertahankan posisi dan mencegah deformitas varus atau dapat
pula dibalut atau digips (cast). Pada
polidaktili sentral, insisi racquet-shaped
dorsal dilakukan pada dasar/lantai duplikasi. Jari tambahan dieksisi melalui
disartikulasi. Ligamentum intermetatarsal dinilai ulang sebelum ditutup. Gips (cast) atau orthosis bermanfaat pada
postoperasi untuk meminimalkan sisa kaki depan yang melebar. Dengan indikasi
kosmetik, dilakukan penutupan kulit plastik/sintetis yang cermat. Walking cast pada memungkinkan anak-anak
bisa tetap bergerak aktif dan sekaligus melindung daerah insisi. Komplikasi
postoperatif antara lain hallux varus residual dan jaringan parut akibat
operasi. (http://jos.online.org-pdfov14i3p295.pdf)
I.
PROGNOSIS
Kebanyakan pasien memiliki hasil keluaran yang baik
hingga sempurna. Tindakan yang hati-hati menentukan keluaran yang baik dalam
hal kosmetik dan fungsional. Potensi pertumbuhan dari jari yang direkonstruksi
masih belum diketahui. Pengukuran lebar kuku, lingkaran dan panjang jari,
menunjukkan potensi pertumbuhan jari yang tersisa setelah eksisi jari yang
hipoplasti. Namun, jari hipoplastik ini telah mengganggu sehingga meskipun
pembedahan dilakukan sejak dini, pertumbuhan jari normal tidak akan pernah
tercapai. (http://jos.online.org-pdfov14i3p295.pdf)
J. ASUHAN KEPERAWATAN
1.
Pengkajian
a. Anamnesis
mengenai riwayat keluarga
b. Riwayat
pranatal – postnatal
c. Pengkajian
hasil laboratorium
d. Pemeriksaan
status neurologis
e. Riwayat
kelahiran serta berat badan lahir harus dilakukan dengan hati –hati.
f. Pemeriksaan
fisik dilakukan keseluruh tubuh untuk menggali adanya kelainan atau anomali
lainnya dibagian tubuh lain. Pemeriksaan fisik dengan dilakukan secara
sistematik.
Berikut
adalah pemeriksaan yang harus dilakukan yaitu :
a.
Catat dan dokumentasikan nomor jari
tangan yang mengalami gangguan, keterlibatan jaringan yang mengalami
penambahan, penyatuan, panjang setiap jari, dan tampilan dari kuku.
b.
Pengambilan foto pada tangan terutama
pada saat pertama kali kunjungan biasanya sangat membantu diagnosis.
c.
Lakukan pergerakan pasif untuk memeriksa
adanya penambahan tulang dengan penambahan jaringan lunak.
d.
Periksa dengan mempalpasi adanya
polidaktili yang tersembunyi.
e.
Tingkat anomali dari struktur tendon dan
neurovakular mencerminkan kompeksitas dari polidaktili. Adanya kondisi
polidaktili komplet atau kompleks biasanya melibatkan bagian distal dari falang
( jari ).
f.
Selalu melakukan pemeriksaan radiografi
untuk membantu identifikasi anomali lainnya, seperti bony synostosis, delta
falang atau symphalangism.
2.
Diagnosa
Keperawatan
a.
Pre
Operasi
1) Gangguan
konsep diri (citra diri) b/d anomali kongenital / perubahan bentuk tubuh
(kaki/tangan)
2) Ansietas
b/d rencana pembedahan.
3) Kurang
pengetahuan (kebutuhan untuk belajar) mengenai kondisi, prognosis, dan
kebutuhan pengobatan b/d kurang informasi mengenai penyakit atau pengobatan.
b.
Pasca
Operasi
1) Nyeri
b/d luka pascaoperasi
2) Kerusakan
integritas kulit b/d pembedahan
3) Resiko
tinggi infeksi b/d tindakan pembedahan
4) Kurang
pengetahuan (kebutuhan untuk belajar) mengenai kondisi, prognosis, dan
kebutuhan pengobatan b/d kurang
informasi mengenai penyakit atau pengobatan.
3.
Intervensi
Keperawatan
a.
Pre
Operasi
1)
Gangguan
konsep diri (citra diri) b/d anomali kongenital / perubahan bentuk tubuh
(kaki/tangan)
Tujuan : Setelah
diberikan asuhan keperawatan, diharapkan klien dapat menunjukkan harga diri
dengan mengungkapkan penerimaan diri secara verbal.
Intervensi
:
a)
Dorong individu mengekspresikan
perasaan, khususnya mengenai bagaimana individu merasakan, memikirkan atau
memandang dirinya.
R/ : dapat membantu
klien berfikiran positif terhadap dirinya sendiri
b) Dorong
interaksi dengan teman sebaya dan orang dewasa yang mendukung.
R/ : memberikan rasa
percaya diri klien
c) Kaji
dan jelaskan kepada klien tentang keadaan penambahan jari klien
R/ intervensi awal bisa
mencegah distress psikologis pada klien
d) Bantu
klien menggunakan mekanisme koping yang positif
R/ mekanisme koping
yang positif dapat membantu klien lebih percaya diri, kooperatif terhadap
tindakan yang akan dilakukan dan mencegah terjadinya kecemasan tambahan
e) Orientsikan
klien terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang diharapkan
R/ orientasi dapat
menurunkan kecemasan
f) Libatkan
system pendukung dalam perawatan klien
R/ kehadiran system
pendukung meningkatkan citra diri klien.
2)
Ansietas
berhubungan dengan rencana pembedahan.
Tujuan
:
setelah klien diberikan asuhan keperawatan, diharapkan klien dapat menunjukkan
perasaan dan mengidentifikasi cara yang sehat dalam berhadapan dengan mereka,
tampil santai, dapat beristirahat / tidur cukup, dan melaporkan penurunan rasa
takut dan cemas berkurang ke tingkat yang dapat diatasi.
Intervensi
:
a)
Informasikan pasien / orang terdekat
tentang peran advokat perawat intraoperasi.
R/ : Kembangkan
rasapercaya / hubungan, turunkan rasa takut akan kehilangan control pada
lingkungan yang asing.
b)
Identifikasi tingkat rasa takut yang
mengharuskan dilakukannya penundaan prosedur pembedahan.
R/ : Rasa takut
yang berlebihan atau terus menerus akan mengakibatkan reaksi stress yang
berlebihan, resiko potensial dari pembalikan reaksi terhadap prosedur / zat-zat
anestesi.
c)
Validasi sumber rasa takut. Sediakan
informasi yang akurat dan faktual.
R/ :
Mengidentifikasi rasa takut yang spesifik akan membantu pasien untuk
menghadapinya secara realistis, misalnya kesalahan identifikasi / operasi yang salah, kesalahan anggota tubuh yang di
operasi.penggambaran yang salah, dll.
d)
Diskusikan penundaan / penangguhan
pembedahan pembedahan dengan dokter, anestesiologis, pasien dan keluarga sesuai
kebutuhan.
R/ : Mungkin
diperlukan jika rasa takut yang berlebihan tidak berkurang / teratasi.
3)
Kurang
pengetahuan (kebutuhan untuk belajar) mengenai kondisi, prognosis, dan
kebutuhan pengobatan b/d kurang informasi.
Tujuan :
setelah diberikan asuhan keperawatan, diharapkan klien dapat mengutarakan
pemahaman proses penyakit / proses pra operasi dan harapan pasca operasi, dapat
melakukan prosedur yang dilakukan dan menjelaskan alasan dari suatu tindakan,
dan memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan ikut serta dalam
perawatan.
Intervensi
:
a) Kaji
tingkat pemahaman pasien.
R/ : Berikan fasilitas perencanaan
program pengajaran pasca operasi.
b) Tinjau
ulang patologi khusus dan antisipasi prosedur pembedahan.
R/ : Sediakan pengetahuan
berdasarkan hal dimana pasien dapat membuat pilihan terapi berdasarkan
informasi dan setuju untuk menikuti prosedur dan adanya kesempatan untuk
menjelaskan kesalahan konsep.
c) Gunakan
sumber-sumber bahan pengajaran, audiovisual sesuai keadaan.
R/ : Bahan yang dibuat secara
khusus akan dapat memenuhi kebutuhan pasien untuk belajar.
d) Melaksanakan
program pengajaran pra operasi individual : pembatasan dan prosedur pra operasi
/ pasca operasi misalnya perubahan urinarius dan usus, pertimbangan diet,
tingkat / perubahan aktivitas, latihan pernapasan dan kardiovaskuler dan
control rasa sakit.
R/ : Meningkatkan pemahaman /
kontrol pasien dan meungkinkan partisipasi dalam perawatan pasca operasi.
b.
Pasca
Operasi
1)
Nyeri
b/d luka pasca operasi
Tujuan : Setelah
diberikan asuhan keperawatan selama 1X24 jam, diharapkan nyeri klien berkurang
bahkan hilang
Intervensi
:
a) Kaji
karakteristik, lokasi dan intensitas nyeri klien (skala 0-10).
R/ : Mengetahui tingkat
rasa nyeri, berguna dalam pengawasan keefektifan obat.
b)
Ajarkan teknik relaksasi seperti :
imajinasi, musik yang lembut.
R/
: Membantu untuk memfokuskan kembali perhatian dan membantu pasien untuk
mengatasi nyeri / rasa tidak nyaman.
c)
Berikan posisi yang nyaman.
R/
: Posisi dapat membantu mengurangi nyeri.
d)
Kolaborasi dengan medik pemberian
analgetik.
R/
: Terapi analgetik dapat mengurangi nyeri
2)
Kerusakan
integritas kulit b/d tindakan pembedahan
Tujuan : Setelah
diberikan asuhan keperawatan selama 1X24 jam, diharapkan klien menunjukkan
penyembuhan jaringan progresif.
Intervensi
:
a) Kaji
daerah sekitar luka, apakah ada pus, atau jahitan basah.
R/ : Deteksi
awal jika terjadi gangguan dalam proses penyembuhan.
b) Periksa
luka secara teratur, catat karakteristik dan integritas kulit.
R/ : Pengenalan akan
adanya kegagalan proses penyembuhan luka / berkembangnya komplikasi secara dini
dapat mencegah terjadinya kondisi yang lebih serius.
c) Kaji
jumlah dan karakteristik cairan luka.
R/ : Menurunnya cairan
menandakan adanya evolusi dari proses penyembuhan, apabila pengeluaran cairan
terus menerus / adanya eksudat yang bau menunjukkan terjadinya komplikasi
(misalnya perdarahan, infeksi).
d) Beri
penguatan pada balutan awal / penggantian sesuai indikasi. Gunakan teknik
aseptik yang ketat.
R/ : Lindungi luka dari
perlukaan mekanis dan kontaminasi. Mencegah akumulasi cairan yang dapat
menyebabkan ekskoriasi (pengikisan kulit).
e) Gunakan
teknik aseptik saat merawat luka
R/ : Mencegah infeksi
dan mencegah transmisi infeksi bakterial pada luka
f) Perhatikan
intake nutrisi klien.
R/ : Penting untuk
mempercepat penyembuhan luka.
3)
Resiko
tinggi infeksi berhubungan dengan tindakan pembedahan.
Tujuan :
setelah diberikan asuhan keperawatan, diharapkan klien dapat mengidentifikasikan
factor-faktor resiko individu dan intervensi untuk mengurangi potensial
infeksi, dan dapat mempertahankan lingkungan aseptik yang aman.
Intervensi :
a) Tetap
pada fasilitas control infeksi, sterilisasi dan prosedur / kebijakan aseptik.
R/ : tetapkan mekanisme
yang dirancang untuk mencegah infeksi.
b) Uji
kesterilan semua peralatan.
R/ : Benda-benda yang
dipaket mungkin tampak steril, meskipun demikian, setiap benda harus secara
teliti diperiksa kesterilannya, adanya kerusakan pada pemaketan, efek
lingkungan pada paket, dan teknik pengiriman.
c) Identifikasi
gangguan pada teknik aseptik dan atasi dengan segera pada waktu terjadi.
R/ : Kontaminasi dengan
lingkungan / kontak personal akan menyebabkan daerah yang steril menjadi tidak
steril sehingga meningkatkan resiko infeksi.
d) Berikan
antibiotik sesuai petunjuk.
R/ : Dapat diberikan
secara profilaksis bila dicurigai terjadinya infeksi atau kontaminasi.
4)
Kurang
pengetahuan (kebutuhan untuk belajar) mengenai kondisi, prognosis, dan
kebutuhan pengobatan b/d kurang
informasi mengenai penyakit atau pengobatan.
Tujuan :
setelah diberikan asuhan keperawatan, diharapkan klien dapat mengutarakan
pemahaman proses penyakit / harapan pasca operasi, melakukan prosedur yang
dilakukan dan menjelaskan alasan dari suatu tindakan, memulai perubahan gaya
hidup yang diperlukan dan ikut serta dalam perawatan.
Intervensi
:
a) Kaji
tingkat pemahaman pasien.
R/ : Berikan fasilitas
perencanaan program pengajaran pasca operasi.
b) Tinjau
ulang patologi khusus dan antisipasi prosedur pembedahan.
R/ : Sediakan
pengetahuan berdasarkan hal dimana pasien dapat membuat pilihan terapi
berdasarkan informasi dan setuju untuk menikuti prosedur dan adanya kesempatan
untuk menjelaskan kesalahan konsep.
c) Gunakan
sumber-sumber bahan pengajaran, audiovisual sesuai keadaan.
R/ : Bahan yang dibuat
secara khusus akan dapat memenuhi kebutuhan pasien untuk belajar.
d) Melaksanakan
program pengajaran pasca operasi individual : pembatasan dan prosedur pasca
operasi misalnya perubahan urinarius dan usus, pertimbangan diet, tingkat /
perubahan aktivitas, latihan pernapasan dan kardiovaskuler dan control rasa
sakit.
R/ : Meningkatkan
pemahaman / kontrol pasien dan meungkinkan partisipasi dalam perawatan pasca
operasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Engz
katroxz
.2010 [cited 2012 November 4];.Available from: URL
http://engzkatroxz.blogspot.com/2010/12/polidaktili.html
Novick C. Polydactyly of the foot [Online]. 2009 Dec
4 [cited 2012 November 4]; [5 screens].
Available from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/
1260255-overview
University of Maryland Medical Center.
Polydactyly-treatment. [Online]. 2009 [cited 2012 November 4]; Available from: URL: http://www.umm.edu/ency/article/
003176trt.htm
Weill Cornell Medical College [Online]. [cited 2012 November 4]; Available from: URL: http://www.cornellsurgery.org/patients/health/congenital-hand-defor-mities.html
Wikipedia [Online]. 2008 June [cited 2012 November 4 ];
Available from: URL:http://en.wikipedia.org/wiki/Polydactyly
Yen CH, Chan WL, Leung HB, Mak KH. Thumb
polydactyly: clinical outcome after reconstruction. Journal of Orthopaedic
Surgery [serial online] 2006 [cited 2012 November 4];14(3):295-302.
Available from: URL: http://jos.online.org-pdfov14i3p295.pdf
Yuda handaya[ONLINE]. 2010 Dec 28 [cited 2012 November 4]; Available from: URL:http://dokteryudabedah.com/tentang-polidaktili/