Rabu, 10 Maret 2010

ASKEP STROKE

Askep Pasien dengan Stroke

I. Landasan teori
Strok merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan neurologis yang utama di Indonesia. Serangan otak ini merupakan kegawatdaruratan medis yang harus ditangai secara cepat, tepat, dan cermat.
Strok adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progresi cepat, berupa defisit neurologis fokal dan/atau global, yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian dan semata-mata disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik. Bila gangguan peredaran darah otak ini berlangsung sementara, beberapa detik hingga beberapa jam 9kebanyakan 10 – 20 menit), tapi kurang dari 24 jam, disebut sebagai serangan iskemia otak sepintas (transient ischameia attack = TIA).
Istilah strok atau penyakit serebrosvaskular mengacu kepada setiap gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui sistem suplai arteri otak. Istilah strok biasanya digunakan secara spesifik untuk menjelaskan infark serebrum. Istilah yang lebih lama dan masih sering digunakan adalah cerebrovascular accident (CVA). Namun istilah ini sulit dipertahankan secara ilmiah karena patologi yang mendasari bisanya sudah ada sejak lama dan/atau mudah diindentifikasi. Karena itu, proses bagaimana berbagai gangguan patologik (misalnya, hipertensi) menyebabkan strok merupakan hal yang dapat diduga, reproducible, dan bahkan dapat dimodifikasi. Dengan demikian, timbulnya strok sama sekali bukanlah suatu “kecelakaan”. Istilah lain yang digunakan dalam usaha penerangan masyarakat adalah serangan otak.

Etiologi
1. Infark otak (80%)
• Emboli
a. Emboli kardiogenik
• Fibrilasi atrium atau aritmia lain
• Trombus mural ventrikel kiri
• Penyakit katup mitral atau aorta
• Endokarditis (infeksi atau non-infeksi)
b. Emboli paradoksal (foramen ovale paten)
c. Emboli arkus aorta
• Aterotrombotik (penyakit pembuluh darah sedang-besar)
a. Penyakit ekstrakranial
• Arteri karotis interna
• Arteri vertebralis
a.Penyakit intrakranial
• Arteri karotis interna
• Arteri serebri media
• Arteri basilaris
• Lakuner (oklusi arteri perforans kecil)

2. Perdarahan intraserebral (15%)
• Hipertensif
• Malformasi arteri-vena
• Anglopati amiloid
3. Perdarahan subaraknoid (5%)
4. Penyebab lain (dapat menimbulkan infark atau perdarahan)
a. Trombosis sinus dura
b. Diseksi arteri karotis atau vertebralis
c. Vaskulitis sistem saraf pusat
d. Penyakit moya-moya (oklusi arteri besar intrakranial yang progresif)
e. Migren
f. Kondisi hiperkoagulasi
g. Penyalahgunaan obat (kokain atau amfetamin)
h. Kelainan hematologis (anemia sel sabit, polisitemia, atau leukemia)
i. Miksoma atrium



Manifestasi Klinis
Pada strok non hemoragik (iskemik) gejala utamanya adalah timbulnya defisit neurologis secara mendadak/subakut, didahului gejala prodromal, terjadi pada waktu istirahat atau bangun pagi dan kesadaran biasanya tak menurun, kecuali bila embolus cukup besar. Biasanya terjadi pada usia > 50 tahun.
Menurut WHO, dalam Internal Statistical Classification of Disease and Realied helath probel 10thRevision, strok hemoragik dibagi atas:
1. Perdarahan intraserebral (PIS)
2. Perdarahan subaraknoid (PSA)
Strok akibat PIS mempunyai gejala prodromal yang tidak jelas, kecuali nyeri kepala karena hipertensi. Serangan seringkali siang hari, saat aktivitas, atau emosi/marah. Sifat nyeri kepalanya hebat sekali. Mual dan muntah sering terdapat pada permulaan serangan. Hemiparesis/hemiplegi biasa terjadi sejak permulaan serangan. Kesadaran biasanya menurun dan cepat masuk koma (65% terjadi kurang dari setengah jam 23 % antara ½ s.d 2 jam, dan 12 % terjadi setelah 2 jam sampai 19 jam)
Pada pasien dengan PSA didapatkan gejala prodromal berupa nyeri kepala hebat dan akut. Kesadaran sering terganggu dan sangat bervariasi. Ada gejala/tanda rangsangan meningeal. Edema papil dapat terjadi bila ada perdarahan subhialoid karena pecahnya aneurisma pada a. Komuikans anterior atau a. Karotis interna.
Gejala neurologis yang timbul bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasinya. Manifestasi klinis strok akut dapat berupa:
• Kelumpuhan wajah atau anggota badan (biasanya hemiparesis) yang timbul mendadak
• Gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan (gangguan hemisensorik)
• Perubahan mendadak status mental 9konfusi, delirium, letargi, stupor, atau koma)
• Afasia (bicara tidak lancar, kurangnya ucapan, atau kesulitan memahami ucapan)
• Disartria (bicara pelo atau cadel)
• Gangguan penglihatan (hemianopia atau monokuler) atau diplopia
• Ataksia (trunkal atau anggota badan)
• Vertigo, mual dan muntah atau nyeri kepala

Patofisiologi
• Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi di mana saja di dalam arteri-arteri yang membentuk sirkulus Willish arteria karotis interna dan sistem vertebrobasilar atau semua cabang-cabangnya. Secara umum, apabila aliran darah ke jaringan otak terputus selama 15 sampai 20 menit, akan terjadi infark atau kematian jaringan. Perlu diingat bahwa Oklusi di suatu arteri tidak selalu menyebabkan infark di daerah otak yang diperdarahi oleh arteri tersebut. Alasannya adalah bahwa mungkin terdapat sirkulasi kolateral yang memadai ke daerah tersebut. Proses patologik yang mendasari mungkin salah satu dari berbatgai proses yang terjadi di dalam pembuluh darah yang memperdarahi otak. Patologinya dapat berupa (1) keadaan penyakit pada pembuluh itu sendiri, seperti pada aterosklerosis dan trombosis, robeknya dinding pembuluh, atau peradangan; (2) berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah, misalnya syok atau hiperviskositas darah; (3) gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal dari jantung atau pembuluh ekstrkranium; atau (4) ruptur vaskular di dalam jaringan otak atau ruang subaraknoid.
• Gambar. Arteri ekstsrakranium dan intrakranium yang mengalirkan darah ke otak. Sirkulus Willisi dan cabang-cabang utamanya juga diperhatikan. Tempat-tempat aterosklerosis di pembuluh darah otak diberi tanda (bagian yang gelap), dengan lokasi utama adalah bilurkasio karotis dan pangkal cabang-cabang dari aorta, arteria inominata, dan arteria subklavia. Ini adalah tempat-tempat yang dapat menjalani pembedahan.

Prinsip Penatalaksanaan Strok Iskemik
1. Membatasi atau memulihkan iskemia akut yang sedang berlangsung (3—6 jam pertama) menggunakan trombolisis dengan rt-PA (recombinant tissue-plasminogen activator). Pengobatan ini hanya boleh diberikan pada strok iskemik dengan waktu onset < 3 jam dan hasil CT Scan normal. Obat ini sangat mahal dan hanya dapat dilakukan dirumah sakit yang fasilitasnya lengkap.
2. Mencegah perburukan neurologis yang berhubungan dengan strok iskemik yang dirawat dengan risiko terbesar dalam 24 jam sejak onset gejala. Perburukan klinis dapat oleh salah satu mekanisme berikut ini:
• Edema yang progresif dan pembengkakan akibat infark: masalah umumnya terjadi infark luas. Edema otak umumnya mencapai puncak pada hari ke-3 sampai hari ke-5 setelah onset strok dan jarang menimbulkan masalah dalam 24 jam pertama. Terapi dengan manitol bermanfaat. Hindari cairan hipotonik. Steroid tidak efektif.
• Ektensi teritori Infark. Ini dapat disebabkan oleh trombosis yang progresif dalam sebuah pembuluh darah yang tersumbat (misalnya infark batang otak yang progresif pada seorang pasien dengan trombosis arteri basilaris) atau kegagalan perfusi distal yang berhubungan dengan stenosis atau oklusi yang lebih proksimal (misalnya perluasana infark zona perbatasan internal pada seorang pasien dengan oklusi arteri karotis interna). Heparin dapat mencegah trombosis yang progresis dan optimalisasi status volum dan tekanan darah yang dapat menyerupai kegagalan perfusi.
• Konversi hemoragis. Masalah ini diketahui dari hasil raqdiologis tetapi jarang menimbulkan gejala klinis. Tiga faktor risiko utama adalah usia lanjut, ukuran infark yang besar, dan hipertensi akut. Jangan memberikan antikoagulan pada pasien dengan resiko tinggi selama 48 – 72 jam pertama setelah onset strok. Bila ada hipertensi berat obati pasien dengan obat antihipertensi
3. Mencegah strok berulang dini (dalam 30 hari sejak onset gejala strok)
Sekitar 5 % pasien yang dirawat degan strok iskemik mengalami serangan strok kedua dalam 30 hari pertama. Risiko ini paling tinggi (lebih besar dari 10 %) pada pasien dengan stenosis karotis yang berat dan kardioemboli serta paling rendah (1 % ) pada pasien dengan infark lakuner. Terapi dini dengan heparin dapat mengurangi risiko strok berulang dini pada pasien dengan kardioemboli.

Protokol Penatalaksanaan Strok Iskemik Akut
1. Pertimbangkan rt-PA intravena 0,9 mg/kgBB intravena (dosis maksimum 90 mg). Sepuluh persen diberikan bolus intravena dan sisanya diberikan per drips dalam waktu 1 jam jika onset gejala strok dapat dipastikan kurang dari 3 jam dan hasil CT Scan otak tidak memperlihatkan infark dini yang luas.
2. Pertimbangkan pemantauan irama jantung untuk pasien dengan aritmia jantung atau iskemia miokard. Bila terdapat fibrilasi atrium respons cepat maka dapat diberikan digoksin 0,125 – 0,5 mg intravena atau verapamil 5 – 10 mg intravena atau amiodaron 200 mg drips dalam 12 jam.
3. Tekanan darah yang tinggi pada strok iskemik tidak boleh cepat-cepat diturunkan.

Akibat penurunan tekanan darah yang terlalu agresif pada strok iskemik akut dapat memperluas infark dan perburukan neurologis. Aliran darah yang meningkat akibat tekanan perkusi otak yang meningkat bermanfaat bagi daerah otak yang mendapat perfusi marginal (penumbra iskemik). Tetapi tekanan darah yang terlalu tinggi, dapat menimbulkan infark hemoragik dan memperhebat edema serebri. Oleh sebab itu, pedoman untuk penatalaksanaan hiperensi pada strok iskemik akut adalah bila terdapat salah satu sebagai berikut:
1. Iskemia miokard akut
2. Edema paru kardiogenik
3. Hipertensi maligna (retinopati)
4. Nefropati hipertensif
5. Diseksi aorta
Hipertensi diobati jika tekanan darah sangat tinggi pada 3 kali pengukuran selang 15 menit
1. Sistolik > 220 mmHg
2. Diastolik > 120 mmHg
3. Tekanan arteri rata-rata trombolisis intravena dengan rt-PA di mana tekanan darah sistolik > 180 mmHg dan diastolik > 110 mmHg

Dengan obat-obat antihipertensi golongan penyekat alfa beta (labelatol), penghambat ACE (kaptopril atau sejenisnya) atau antagonis kalsium yang bekerja perifer (nifedipin atau sejenisnya) penurunan tekanan darah sebelumnya. Nifedipin sublingual harus diberikan degan hati-hati dan dengan pemantauan tekanan darah ketat setiap 15 menit atau dengan alat monitor kontinu sebab dapat terjadi penurunan tekanan darah dapat drastis. Oleh sebab itu, sebaiknya dimulai dengan dosis 15 menit atau dengan alat monitor kontinu sebab dapat terjadi penurunan tekanan darah dapat drastis. Oleh sebab itu, sebaiknya dimulai dengan dosis 5 mg sublingual dand apat dinaikan menjadi 10 mg tergantung respons sebelumnya. Pada tekanan darah yang sulit diturunkan dengan obat di atas atau bila diastolik > 140 mmHg secara persisten maka harus diberikan natrium nitroprusid intravena, 50 mg/250 ml dekstrosa 5 % dalam air (200 µg/ml) dengan kecepatan 3 ml/jam (10 µg/menit) dan dititrasi sampai tekanan darah yang diinginkan alternatif lain yang dapat diberikan nitrogliserin drip 10 – 20 µg/menit.
Tekanan darah yang rendah pada strok akut adalah tidak lazim. Bila dijumpai maka tekanan darah harus dinaikan dengan dopamin atau dobutamin drips serta mengobati penyebab yang mendasarinya.
1. Pertimbangan observasi di unit rawat intensif pada pasien dengan tanda klinis atau radiologis adanya infark hemisferik atau serebelum yang masif, kesadaran menurun, gangguan pernapasan, atau strok dalam evolusi
2. Pertimbangan konsul bedah saraf untuk dekompresi pada pasien dengan infark serebelum yang yang luas.
3. Pertimbangan sken resonansi magnetik pada pasien dengan strok vertebrobasiler atau sirkulasi posterior atau infark yang tidak nyata CT Scan
4. Pertimbangan pemberian heparin intravena dimulai dosis 800 unit/jam, 20.000 unit dalam 500 ml salin normal dengan kecepatan 20 ml/jam, sampai masa tromboplastin parsial mendekati 1,5 kontrol pada kondisi berikut ini:
• Kemungkinan besar strok kardioemboli
• Iskemia otak sepintas (TIA) atau infark karena stenosis arteri karotis
• Strok dalam evolusi
• Diseksi arteri
• Trombosis sinus dura
Heparin merupakan kontraindikasi relatif pada pasien dengan infark luas yang berhubungan dengan efek massa atau konversi/tranformasi hemoragik
Heparin merupakan kontraindikasi relatif pada pasien dengan infark luas berhubungan dengan efek massa atau konversi/transformasi hemoragik.
Pasien strok dengan infark miokard baru, fibrilasi atrium, penyakit katup jantung atau trombus intrakardiak harus diberikan antikoagulan oral (warfarin) sampai minimal 1 tahun dengan mempertahankan masa protrombin 1,5 – 2,5 kali kontrol atau INR 2 – 3
1. Pemeriksaan penunjang neurovaskular diutamakan yang noninvasif. Pemeriksaan berikut ini dianjurkan pada pasien infark serebri bila alat tersedia biaya terjangkau.
• Ekokardiografi untuk mendeteksi adanya sumber emboli dari jantung.
• Ultrasonografi Doppler karotis diperlukan untuk menyingkirkan stenosis karotis yang simtomatis serta lebih dari 70 % yang merupakan indikasi untuk enarterektomi karotis.
2. Pemeriksaan berikut ini dilakukan selektif pada pasien tertentu.
• Ultrasonografi Doppler transkranial dapat dipakai untuk mendiagnosis oklusi atau stenosis arteri intrakranial besar. Gelombanga intrakranial yang abnormal dan pola aliran kolateral dapat juga dipakai untuk menentukan apakah suatu stenosis pada leher menimbulkan gangguan hemodinamik yang bermakna
• Angiografi resonansi magnetik dapat dipakai untuk mendiagnosis stenosis atau oklusi arteri ekstrakranial atau intrakranial
• Pemantauan Holter dapat dipakai untuk mendeteksi fibrilasi atrium intermiten
3. Pertimbangan pemeriksaan darah berikut ini pada kasus-kasus penyebab strok yang tidak lazim, terutama pada usia muda:
• Kultur darah jika mencurigai endokarditis
• Pemeriksaan prokoagulan: aktivitas protein C, aktivitas protein S, aktivitas antitrombin III, antikoagulan lupus, antibodi antikardiolipin.
• Pemeriksaan untuk vaskulitis antibodi antinuklear (ANA), faktor reumatoid, reagin plasma cepat (RPP), serologi virus hepatitis, laju endap darah, elektroforesis protein serum, krioglobulin, dan serologi virus herpes simpleks.
• Profil koagulasi untuk menyingkirkan koagulasi intravaskular diseminata (DIC)
• Beta gonadotropinkarionik manusia (β-HCG) untuk menyingkirkan kehamilan pada wanita muda dengan strok.

Protokol Penatalaksanaan Strok Hemoragik
1. Singkirkan kemungkinan koagulopati, pastikan hasil masa protrombin dan masa tromboplastin parsial adalah normal. Jika masa protrombin memanjang, berikan plasma beku segar (FFP) 4 – 8 unit intravena setiap 4 jam dan vitamin K 15 mg intravena bolus, kemudian 3 kali sehari 15 mg subkutan sampai masa protrombin normal. Koreksi antikoagulasi heparin dengan protamin sulfat 10 – 50 mg lambat bolus (1 mg mengoreksi 100 unit heparin)
2. Kendalikan hipertensi: Berlawanan dengan infark serebri akut, pendekatan pengendalian tekanan darah yang lebih agresif dilakukan pada pasien dengan perdarahan intraserebral akut, karena tekanan yang tinggi dapat menyebabkan perburukkan edema perihematoma serta meningkatkan kemungkinan perdarahan ulang. Tekanan darah sistolik > 180 mmHg harus diturunkan sampai 150 – 180 mmHg dengan labetalol (20 mg intravena dalam 2 menit, ulangi 40 – 80 mg intravena dalam interval 10 menit sampai tekanan yang diinginkan, kemudian infus 2 mg/menit (120 ml/jam) dan dititrasi atau penghambat ACE (misalnya: kaptopril 12,5 –25 mg, 2 – 3 kali sehari) atau antagonis kalsium (misalnya nifedipin oral 4 kali 10 mg)
3. Pertimbangkan konsultasi bedah saraf bila perdarahan serebelum diameter lebih dari 3 cm atau volum > 50 ml) untuk dekompresi atau pemasangan pintasan ventrikulo-peritoneal bila ada hidrosefalus obstruktif akut atau klipin aneurisma.
4. Pertimbangan angiografi untuk menyingkirkan aneurisma atau malformasi arteriovenosa. Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada pasien muda (< 50 tahun) yang non hipertensif bila tersedia fasilitas.
5. Berikan betasol 20 % (1 kg/kgBB, intravena dalam 20 – 30 menit) untuk pasien dengan koma dalam atau tanda-tanda tekanan intrakranial yang meninggi atau ancaman herniasi. Steroid tidak terbukti efektif pada perdarahan intraserebral. Steroid hanya dipakai pada kondisi ancaman herniasi transtentorial. Hiperventilasi dapat dilakukan untuk membantu menurunkan tekanan intrakranial.
6. Pertimbangan fenitoin (10 – 20 mg/kgBB intravena, kecepatan maksimal 50 mg/menit; atau per oral) pada pasien dengan perdarahan luas dan derajat kesadaran menurun. Umumnya antikonvulsan hanya diberikan bila ada aktivitas kejang. Namun, terapi profilaksis beralasan jika kondisi pasien cukup kritis dan membutuhkan intubasi, terapi tekanan intrakranial meningkat atau pembedahan.
7. Pertimbangan terapi hipervolemik dan nimodipin untuk mencegah vasopasme bila secara klinis, pungsi lumbal atau CT Scan menunjukkan perdarahan subaraknoid akut primer
8. Perdarahan intraserbral
• Obati penyebabnya
• Turunkan tekanan intrakranial yang meninggi
• Berikan neuroprotektor
• Tindakan bedah dengan pertimbangan usia dan skala koma Glasgow (>4) hanya dilakukan pada pasien dengan:
1. Perdarahan serebelum dengan diameter > 3 cm (kraniotomi dekompresi)
2. Hidrosefalus akut akibat perdarahan intraventrikel atau serebelum (VP shunting)
3. Perdarahan lobar di atas 60 cc dengan tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial akut dan ancaman berniasi
4. Tekanan intrakranial yang meninggi pada pasien strok dapat diturunkan dengan salah cara/gabungan berikut ini:
1. Manitol bolus, 1 gram/kgBB dalam 20 – 30 menit kemudian dilanjutkan dengan dosis 0,25 – 0,5 g/kgBB setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam. Target osmolaritas = 300 — 320 mosmol/liter
2. Gliserol 50 % oral, 0,25 – 1 g/kg setiap 4 – 6 jam atau gliserol 10 % intravena, 10 ml kgBB dalam 3 – 4 jam (untuk edema seribri ringan – sedang)
3. Furosemid 1 mg/kg BB intravena
4. Intubasi dan hiperventilasi terkontrol dengan oksigen hiperbarik sampai pCO2 = 29 35 mmHg.
5. Steroid tidak diberikan secara rutindan masih kontroversial
6. Tindakan kraniotomi dekompresif
9. Perdarahan subaraknoid
• Nimodipin dapat diberikan untuk mencegah vasospasme pada perdarahan subaraknoid primer akut
• Tindakan operasi dapat dilakukan pada perdarahan subaraknoid stadium I dan II akibat pecahnya aneurisma sakular Berry (clipping) dan adanya komplikasi hidrosefalus obstruktif (VP shunting)

II. Pengkajian
1. Indentitas
2. Keluhan Utama
3. Riwayat Kesehatan
4. Pola Fungsi Kesehatan
5. Pengkajian Fisik
PEMERIKSAAN REFLEKS
Pemeriksaan refleks di antaranya
a. Refleks superfisial dilakukan dengan cara menggores kulit abdomen dengan empat goresan yang membentuk segi empat di bawah xifoid (di atas simpisis)
b. Refleks tendon dalam dilakukan dengan mengetuk menggunakan palu (hammer) pada tendon biseps, triseps, patela, dan achilles dengan penilaian pada biseps (terjadi fleksi sendi siku), triseps (terjadi ekstensi sendi siku), patela (terjadi ekstensi sendi lutut), dan pada achiles (terjadi fleksi plantar kaki). Apabila terjadi hiperefleks, maka terdapat kelainan pada upper motor neuron, sedangkan hiporefleks mengindikasikan adanya kelainan lower motor neuron.
1) Refleks pupil
Pada mata yang terbuka disinari dengan baterai (senter)
Refleks pupil positif jika terlihat konstriksi pupil:
Reseptor : Retina
Saraf aferen : n. optimus (N.II)
Pusat integrasi : otak
Saraf eferen : n. occulomotoris (N.III)
Efektor : otot polos iris
2) Refleks kornea
Cara pemeriksaan dengan menyentuh kornea dengan kapas basah. Make akan terjadi kejapan mata.
Reseptor : permukaan kornea
Saraf eferen : N. V
Pusat integrasi : otak (pons)
Saraf eferen : m. orbicularis oculi
3) Saraf abdominal
Refleks ini terdapat negatif pada 3 % orang-orang normal, umur kurang dari 3 bulan, sedang pada usia lebih dari 4 tahun umumnya positif. Cara melakukan tes ini adalah dengan benda runcing (pensil, lidi, tangkai hammer refleks) digoreskan pada abdomen selalu dari arah lateral ke medial atau dari cranial ke caudal, maka akan terjadi kerutan pada kulit abdomen. Refleks abdomen dibedakan menjadi 4 daerah:
a. Refleks epigastial, sentrum pada T 8 – 9
b. Refleks supraumbilikal, sentrum T 6,7,8
c. Refleks umbikal, sentrum T 9,10
d. Refleks infra umbikal, sentrum L I, II
4) Refleks Patella
Ketuk ligamentum patellae pada orang yang duduk dengan menggantungkan kakinya. Respon refleks positif bila terjadi ekstensi artikulatiogenu. Ligamentum patellae yang diketuk akanb meregangkan m. quadrisep femoris. Rangsang tegang ini diterima reseptor regang otot tersebut dan impuls disalurkan oleh n. femoralis, sentrum di L II, III, IV dan efektornya juga m. quadrisep femoris.
5) Refleks Achiles
Ketuk tendo achili, positif jika terjadi plantar fleksi dari tapak kaki akibat kontraksi m. trisep surae. Refleks ini pada umur 6 – 12 tahun dan negative pada umur 65 tahun. Sentrum pada SI, II.
6) Refleks Bisep
a. Lengan kanan naracoba diluruskan secara pasif dan diletakkan di atas meja/tangan penguji. Naracoba mengalihkan perhatian ke sekeliling.
b. Penguji memukul tendo m. biseps brachii dengan martil refleks
c. Positif bila lengan bawah mengadakan fleksi (m. biseps brachii berkontraksi) sentrum C 5,6.
7) Refleks Trisep
a. Lengan kiri naracoba dibengkokkan secara pasif. Alihkan perhatian naracoba.
b. Penguji memukul tendo m. triceps brachii dengan martil refleks.
c. Refleks positif jika terjadi ekstensi lengan bawah sejenak.
d. Pudat C 7 dan C 8 dan meninggi apabila terjadi kerusakan ditingkat yang lebih tinggi dari C 7, 8.
c. Reflek patologis menilai adanya refleks babinski dengan cara menggores permukaan plantar kaki denga laat yang sedikit runcing. Apabila terjadi reaksi ekstensi ibu jari maka hasilnya positif.
Refleks patologis adalah refleks yang jika timbul menunjukkan kerusakan atau gangguan pada traktus piramidalis. Refleks patologis sangat banyak. Contoh refleks patologis antara lain refleks Tromner-Hoffman dan refleksi Babinski.
1. Refleks Tromner—Hoffman
Pemeriksaan memegang lengan bawah pasien dengan tangan kirinya. Tangan kanan pasien berada pada posisi pronasi dengan jari-jari agak fleksi. Kemudian pemeriksa menyandarkan ujung jari tengah pasien pada jari tengahnya dan menggores-gores tepi kuku ibu jari pemeriksa pada permukaan kuku jari tengah pasien dari proksimal ke distal. Positif jika jari telunjuk dan ibu jari pasien melakukan secara cepat seirama dengan goresan kuku jari tengahnya.
2. Refleks Babinski
Caranya pemeriksa menggores lateral telapak kaki pasien dan membelok kea rah ibu jari dengan benda runcing. Pada orang normal akan timbul gearakan reflektorik terdiri plantar fleksi kai dan jari-jarinya. Pada kerusakkan tr. primadalis gerakan reflektorik itu tidak menjurs ke plantar akan tetapi ke dorsal terutama ibu jari kaki yang melakukan dorsofleksi sedangkan jari-jari kaki lainnya mengembang. Tanda ini adalah Babinski positif.


Pemeriksaan tanda meningeal, antara lain kaku kuduk, dilakukan dengan menyuruh pasien pada posisi telentang, kemudian leher ditekuk. Apabila dagu tertahan dan tidak menempel atau mengenai bagian dada, maka terjadi kaku kuduk (positif). Brudzinki I dengan cara pasien diatur pada posisi telentang, letakkan di dada untuk mencegah badan terangkat, kemudian kepala difleksikan ke dada. Apabila kedua tungkai bawah akan fleksi (terangkat) pada sendi panggul dan lutut, maka terdapat tanda meningeal. Brudzinski II dengan cara mengondisikan pasien pada posisi telentang, fleksikan secara pasif tungkai atas pada sendi panggul ikuti fleksi tungkal lainnya. Apabila sendi lutut lainnya dalam keadaan ekstensi, maka terdapat tanda meningeal. Pemeriksaan tanda kernig dengan cara mengatur posisi pasien dalam keadaan telentang, fleksikan tungkai atas agak tegak lurus, kemudian luruskan tungkai bawah pada sendi lutut. Dalam keadaan normal, tungkai bawah dapat membentuk sudut 135 derajat terhadap tungkai atas.
Pemeriksaan kekuatan dan tonus otot dengan cara menilai bagian ekstremitas dan memberi tahanan atau mengangkat serta menggerakkan bagian otot yang akan dinilai, sebagaimana ditunjukkan pada tabel di bawah ini:
Nilai Kekuatan Otot (Tonus Otot) Keterangan
0 (0%) Paralisis, tidak ada konstraksi otot sama sekali
1 (10 %) Terlihat atau teraba getaran kontraksi otot tetapi tidak ada gerakan anggota gerak sama sekali.
2 (25%) Dapat menggerakkan anggota gerak tetapi tidak kuat menahan berat dan tidak dapat melawan tekana pemeriksa
3 (50%) Dapat menggerakkan anggota gerak untuk menahan berat tetapi dapat menggerakkan anggota badan untuk melawan tekan pemeriksa
4 (75 %) Dapat menggerakkan sendi dengan aktif untuk menahan berat dan melawan tekanan secara simultan
5 (100 %) Normal

Sumber, Carol Vestel Allen, 1991.

III. Diagnosa Keperawatan
Kemungkinan diagnonsa keperawatan yang muncul adalah:
1. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan intoleransi aktivitas ditandai dengan ekstremitas kanan atas dan bawah tidak dapat digerakkan
2. Kerusakan komunitas verbal
Berhubungan dengan penurunan sirkulasi ke otak ditandai degan sulit bicara, sulit dalam mengekspresikan pikiran secara verbal dan sulit mengekspresikan melalui wajah atau tubuh.
3. Ketidakberdayaan, berhubungan dengan interaksi interpersonal ditandai degan tergantung pada orang lain dalam melakukan aktivitas.
4. Resiko cedera, berhubungan dengan kerusakan mobilitas.
5. Resiko jatuh, berhubungan dengan keruskan mobilitas fisik.
6. Resiko kerusakan integritas kulit, berhubungan dengan imobilisasi fisik

IV. Tujuan (NOC)
DX 1.
NOC Label : Mobility level (0208)
- Balance performance (020801)
- Body positioning performance (020802)
- Muscle movement (020803)
- Joint movement (020804)
NOC label: Sensory function : Proprioceptim (2402)
- Head position discrimination (240201)
- Head movement discrimination (240202
- Limb movement discrimination (240203)
- Limb position discrimination (240204)
DX 2.
NOC label: Communication Ability (0902)
- Use of sign language (090204)
- Use of non-verbal language (090205)
NOC label: Communication Expressive Ability (0903)
- Use of sign language (090306)
- Use of non-verbal language (090307)
NOC label: Communication receptive abilty (0904)
- Intepretation of sign language (090404)
- Interpretation of non verbal language (090405)
DX 3.
NOC label: Family participation in professional care (2605)
- Collaborates in determining treatment (260506)
- Makes decisions in when patient is unable to do so (260508)
- Participates in decisions with patient (260509)
DX 4.
NOC label: Neurological status (0909)
- Neurological function: cranial sensory / motor function (090903)
- Communication (090907)
- Breathing pattern (090911)
- Vital signs WNL (090912)
- Headaches not present (090915)
DX 6
NOC label: Tissue integrity: Skin and mucous membranes (1101)
- Sensation IER (110102)
- Elasticity IER (110103)
- Pigmentation IER (110106)
- Texture IER (110108)
- Color IER (110107)
- Thickness IER (110109)
- Tissue lesion-free (110109)

V. Intervensi (NIC)
DX 1
NIC label: positioning (0840)
- Tempatkan di tempat tidur untuk terapi
- Tempatkan di posisi yang menunjukkan terapi
- Menghentikan atau bantuan dari peralatan tubuh jika perlu
- Mengindentifikasi kondisi kulit
- Mempertahankan posisi dan integritas daya tarik
DX 2
NIC label: Communication Enhancement : speech deficit (4976)
- Beri satu gambaran sederhana di suatu waktu jika diperlukan
- Gunakan kata yang sederhana dan kalimat pendek, jika diperlukan
- Gunakan isyarat tangan, jika diperlukan
- Berdiri di depan pasien jika bicara
- Meminta keluarga yang mengerti perkataan pasien, jika diperlukan
- Memperbolehkan pasien untuk sering kali mendengarkan bahasa percakapan, jika diperlukan.
DX 3.
NIC label: Self-Responsibility Facilitation (4480)
- Pegang tanggung jawab pasien untuk kebiasaannya
- Dukungan keluarga untuk tingkat tanggung jawab yang pasien pegang
DX 4
NIC label: Fall Prevention (6490)
- Identifikasi kekurangan fisik dari pasien yang memungkinkan untuk jatuh dalam kegiatan
- Ajarkan pasien bagaimana jatuh atau untuk meminimalkan luka
- Jawab cahaya (lampu panggilan)
- Tempatkan tempat tidur pengobatan pada posisi yang rendah.
DX 6.
NIC label: Skin Surveillance (3590)
- Lihat kulit dan membran mukosa dari kemerahan, panas tinggi atau luka
- Melihat kulit dari area kemerahan dan luka
- Monitor warna kulit
- Monitor suhu kulit








DAFTAR PUSTAKA

1. potter dan Pery. 2005. Fundamental keperawatan Volume 1. januari : EGC
2. Santosa, Budi. 2005. Panduan Diagnosa keperawatan Nanda : Prima Medika.
3. Joanne C. Mc closkey : 1996. IOWA Intervention Projet )NIC). Mosby – Year Book.
4. Marion Johson dkk. 2000. IOWA Intervention Projet (NOC). Mosby – Year Book.
5. Manjoer, Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta : Media Aescalapius Fakultas Kedokteran UI.
6. Priharjo, Robert. 2006. Pengkajian Fisik Keperawatan Jakarta : EGC.
7. Alimul Hidayat, A. aziz. 2004.Pengantatr Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan. Januari : Salemba Madika.

1 komentar: